Maafkan Aku Cici


Cerita anak: Maafkan Aku Cici



“Ai, cici sudah kamu beri makan belum?” terdengar suara Ibu dari dapur.
Ibuku memang begitu. Tidak bisa melihatku senang. Setiap aku asyik nonton kartun, pasti adaaa sajaaa. Yang disuruh ganti baju, disuruh makan, di suruh shalat, dan sekarang memberi makan Cici.
Cici adalah nama kelinciku. Bulan lalu aku meminta ibu membelikanku seekor kelinci. Nina temanku punya seekor kelinci. Kelinci Nina, gemuk dan lucu, karena itu aku juga ingin punya seekor kelinci.
Semula ibu tidak mau membelikan aku kelinci. Ibu khawatir aku tidak merawat kelinciku dengan baik, tapi aku bersikeras. Ibu bilang, ibu terlalu sibuk untuk merawat seekor kelinci, jadi, ibu memintaku berjanji untuk merawat kelinciku dengan baik. Karena aku berjanji akan merawat kelinciku dengan baik, akhirnya ibu membelikan aku seekor kelinci.
Cici kelinciku juga lucu. Bulunya putih bersih dan lebat. Saat aku membelainya, terasa seperti membelai boneka, lembuuuut sekali. Tapi Cici juga kadang menjengkelkan, sebentar-sebentar aku harus memberinya makan. Belum lagi kotorannya. Bau sekali. Lama-lama aku jadi bosan mengurus Cici. Aku juga jadi malas bermain dengan Cici lagi.
 “Aiiiiii, ibu panggil kok diam saja sih?” suara ibu, kembali terdengar. Aku sering bertanya-tanya, kenapa sih ibu seperti tidak suka, melihat aku senang. Acara kartun di televisi kan sedang lucu, kenapa sih, selalu diganggu.
“Ya Bu, sebentar,” jawabku, sambil terus menonton televisi.
“Haaaa, haaaa, haaaa,” aku sampai tertawa terbahak-bahak. Tingkah tokoh kartun yang kutonton memang lucu sekali.
“Yaaaa Alloooooh! Masih nonton TV?” seru ibu, dengan nada yang tinggi. Tiba-tiba saja ibu sudah berdiri di belakangku.
“Kamu kan sudah berjanji, akan merawat Cici dengan baik. Ibu perhatikan sejak kemarin Kamu tidak memberi Cici makan kan?” ibu, mulai marah.
“Iyaaa, iyaaa,” kataku sambil bangun dari sofa. Kalau ibu sudah mulai marah seperti itu, lebih baik aku menuruti perintah ibu, dari pada ibu marah-marah tiada henti. Akupun segera pergi dapur untuk mengambil sayuran yang dibelikan ibu untuk Cici, kemudian ke kandang Cici di halaman samping rumah.
Saat tiba di kandang Cici, kulihat Cici sedang tidur. Aku kemudian membuka kandang Cici, dan memasukkan sawi yang kubawa. Biasanya jika kuletakkan sayuran dalam kandang Cici, ia akan segera melahap sayuran itu.
Aku heran, kok kali ini sikap Cici tidak seperti biasanya. Cici tidak segera makan. “Siang-siang begini, kok tidur saja sih Si Cici,” fikirku.
Iseng, kusentuh tubuh Cici. Saat itulah aku menyadari tubuh Cici telah kaku.
“Ibuuuuu, ibuuuu, Cici kenapa ini Bu?” aku mencoba meminta bantuan ibu.
Dengan sedikit tergopoh-gopoh, ibu datang menghampiriku.
“Kenapa Ai?” tanya ibu saat sudah berada di halaman samping.
“Ini Bu, Cici,” jawabku, sambil menunjukkan tubuh Cici yang telah menjadi kaku.
“Tuh kan! Cici jadi mati. Makanya ibu tadinya tidak mau membelikan kamu kelinci. Tapi kamu ngeyel! Kamu kan sudah berjanji akan merawat Cici. Ini, memberi makan saja malas. Itu namanya, Kamu tidak bertanggung jawab atas ucapanmu sendiri,” kata ibu.
“Iya bu,maaf.”
“Percuma kamu minta maaf, kalau sikapmu itu tidak kau ubah. Binatang itu makhluk hidup Ra, makhluk ciptaan Alloh, jadi kamu harus bertanggung jawab kalau memelihata binatang. Disayangi, diberi makan, di bersihkan kandangnya,”
Aku mulai menangis mendengar nasehat ibu. Aku menyesal sudah mengabaikan Cici, hingga ia mati. Aku merasa berdosa pada Cici. Pasti ia merasa tersiksa, sebelum akhirnya mati. Kuingat-ingat lagi, aku bahkan sudah tiga hari tidak memberi Cici makan. Setiap ibu mengingatkanku, aku hanya menjawab “sebentar” dan “sebentar lagi.”
Maafkan aku Cici. 

#empis2temanggung
#1pekan1tulisan
#temapenyesalan

0 komentar